Purifikasi Pemurnian Jiwa Raga

Purifikasi Jiwa-Raga

Saat Anda betul-betul menyadari keterhubungan sumber kasih murni di dalam diri, barulah terjadi proses purifikasi. Saya jelaskan bahwa banyak orang yang tidak mengalami purifikasi karena meditasinya hanya rileksasi, bahkan lebih parah dia merem, tapi tidak rileks/spaneng. Yang rileks saja tidak mengalami purifikasi, apalagi yang spaneng. Makanya, buat Anda yang merem malah spaneng, nggak usah merem, melek saja. Boleh kalau merem/melek? Terserah, kalau Anda bisa.
Pokoknya rileks, Anda nikmati napas natural itu, rasakan keterhubungan. Setiap orang nanti akan ketemu sensasi yang berbeda, tapi yang pasti, coba betul-betul nikmati saja napas itu sampai terrasa ketika menghirup dan mengembuskan kembali, dan seterusnya, lalu pasrah. Kalau pun ada kerja pikiran di sana, kita sebatas memperhatikan, kita menguatkan proses yang terjadi ini dengan pengucapan niat,

“Biarlah nanti keterhubungan dengan Diri Sejati di relung hati ini, jiwa raga saya dimurnikan. Saya sadari sepenuhnya di setiap tarikan dan embusan napas ada kekuatan kasih murni yang bekerja di dalam diri saya. Kekuatan kasih murni ini memurnikan jiwa dan raga saya. Saya pasrah, Gusti, saya pasrah.”

Itu teknik yang benar. Teknik yang salah itu merem (tutup mata) tapi spaneng, rileks tapi nggak nyambung ke dalam diri, atau Anda seperti serius meditasi (duduk merem) tapi pikirannya atau pineal gland-nya gampang terjebak untuk masuk ke sensasi-sensasi metafisika. Ada case dari orang merem, “Wah, bagus nih, ada warna warni”. Dia bertemu dengan hal-hal yang membuat dia terpukau, tetapi tidak membuat dia sadar penuh dengan keterhubungan Diri Sejatinya. Hal itu juga akan membikin Anda nyasar. Karena nanti begitu sibuk memperhatikan yang Anda lihat itu, anyda tidak akan sampai kepada tujuan Anda, Anda malah dibawa kepada yang menjadi bukan tujuannya. Mestinya ke Jakarta, malah ke Ciledug. Bisa dimengerti?
Kalau Anda sudah mengerti ini, langkah berikutnya, jalankan itu dengan tekun. Pada titik ini, orang akan beralasan lagi, “Wah saya nggak ada waktu, pagi ngurusin bayi, malam ngurusin bapaknya, siang sibuk cari makan, terus kapan saya punya waktu untuk meditasi”.

Meditasi Formal dan Informal

Padahal saya sudah menjelaskan dengan gamblang. Yakni, ada meditasi formal dan meditasi informal. Sebetulnya, sesibuk-sibuk Anda, kalau Anda mau mengelola diri dan mengelola waktu, sehari 5 menit atau 10 menit cukup disisihkan untuk meditasi formal. Benarkah Anda tidak ada waktu sama sekali? Misalnya memang sangat terbatas waktu untuk meditasi formal, ya, Anda lakukan meditasi informal. Anda lagi kerja, rasakan napas, rasakan keterhubungan dengan Gusti. Anda lagi perjalanan, juga lakukan hal yang sama. Tekun saja itu menjadi momentum purifikasi yang tidak berkesudahan.
Ada alasan lagi, “Saya kalau sudah pulang ke rumah, capek, pengennya berbaring”. Lalu masalahnya apa? Memang kalau berbaring, tidak bisa meditasi? Ada saja alasannya. “Tapi, ‘kan saya capek.” Loh, yang nyuruh Anda lari-lari siapa? Ya sudah, lakukan dengan berbaring. Memang kalau tidak berbaring, Anda tidak bernapas? Memang kalau menyadari napas, jadi tambah capek?
Tinggal nikmati napas saja susah banget. Hal-hal sederhana ini harus dituntaskan pengertiannya dulu. Kalau tidak, saya sudah sampai mana, Anda masih bolak balik di situ.

Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Jakarta, 2 Oktober 2021